Jumat, 25 Juni 2010

KAYU EBONY

Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari keluarga eboni (suku Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica, yakni diturunkan dari kata Celebes (Sulawesi). Daerah penyebaran terutama di Sulawesi Tengah.

Pemerian

Pohonnya lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.

Daun tunggal terletak berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.

Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.

Hasil dan kegunaan

Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas baik. Berwarna coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan, dalam perdagangan internasional kayu hitam Sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony atau juga black ebony. Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, kayu maitong, dan lain-lain.

Kayu hitam Sulawesi terutama digunakan untuk furniture mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan.

Penyebaran dan konservasi

Jenis ini hanya terdapat di Sulawesi di hutan primer pada tanah liat, pasir atau tanah berbatu-batu yang mempunyai drainase baik, dengan ketinggian mencapai 600 m dpl. Secara alami, kayu hitam Sulawesi ditemukan baik di hutan hujan tropika maupun di hutan musim.

Kayu ini telah diekspor ke luar negeri semenjak abad ke-18. Pasar utamanya adalah Jepang, dan juga Eropa dan Amerika Serikat.

Karena perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam, kini kayu hitam Sulawesi telah terancam kepunahan. Ekspor kayu ini mencapai puncaknya pada tahun 1973 dengan jumlah sekitar 26,000 m3, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus menurun karena kekurangan stok di alam.

Untuk melindunginya, kini IUCN menetapkan statusnya sebagai vulnerable (rentan), dan CITES memasukkannya ke Apendiks 2.

BURUNG MALEO

Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon Maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55 cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang. Ukuran telur burung maleo beratnya 240 gram hingga 270 gram per butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur ayam. Uniknya, dengan telor sebesar itu, setiap habis bertelor Maleo langsung pisan. Saat ini Maleo mulai terancam punah karena habitat yang semakin sempit dan telur-telurnya yang diambil oleh manusia. Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini.

Ciri-Ciri
Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

Populasi
Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan Maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia. Populasi hewan endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi khususnya daerah Sulawesi Tengah, yakni di daearah Kabupaten Donggala (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupaten Luwuk Banggai. Populasi maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an. Berdasarkan pantauan di Tanjung Matop,Tolitoli,Sulawesi Tengah, jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan juga telur-telur yang terus diburu oleh warga.

Habitat
Maleo bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar, mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam. Saking besarnya Maleo pingsan setiap bertelor. Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan bersembunyi ke dalam hutan. Berbeda dengan anak unggas pada umumnya yang pada sayapnya masih berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada anak maleo sudah seperti unggas dewasa, sehingga ia bisa langsung terbang setelah menetas, hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung didalam telur maleo lima kali lipat dari telur biasa, anak maleo harus mencari makan sendiri dan menghindari hewan pemangsa, seperti ular, kadal, kucing, babi hutan dan burung elang.

Makanan
Maleo Senkawor adalah monogami spesies. Pakan burung ini terdiri dari aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.

Ancaman
Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi, populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Maleo Senkawor dievaluasikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendice I.

Predator
Predator yang sering ditemukan pada malam hari adalah ular, soa-soa atau biasa disebut biawak, kucing, anjing, babi, dan tikus. Pada siang hari predatornya adalah elang dan manusia yang sering mengambil telurnya dan menggunakan jerat untuk menangkap satwa maleo.